“Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.” Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan.
Eits, sudah Natal lagi. Jujur kita akui, Natal kita rayakan bak pesta. Di hari Natal, kehidupan seakan berubah dalam sekejap. Wajah keceriaan terlihat di mana-mana. Pedagang melihat peluang besar lewat Natal. Gereja tak lepas darinya. Natal menjadi saat gereja meraup “omzet”. Karena itu selalu ada persembahan khusus saat merayakan Natal. Umat pun menjadi lebih baik hati, rela memberi persembahan lebih untuk gereja dan pendeta. Semua dibuat serba menawan, eye catching, yang diharapkan dapat menggetarkan hati…
Ada kisah fabel menarik untuk kita simak. Konon, ketika Yesus dilahirkan, malaikat mengadakan seleksi siapakah di antara binatang-binatang yang sebaiknya menemani Yesus yang akan terbaring di palungan. Yang pertama mengajukan diri adalah harimau. Ia berkata, “Sayalah yang paling pantas menjaga Yesus. Siapapun yang berani mendekat akan saya terkam dan cabik-cabik dengan kuku dan taring saya. Yesus pasti akan aman.“ Malaikat menjawab, “Yesus adalah Raja Damai, kekerasan tidak sesuai dengan maksud kedatangan-Nya.“
Selanjutnya, majulah Kancil dan berkata: “Benar, kekerasan bukan cara beradab. Untuk menjaga supaya Ia aman, saya mempunyai jurus canggih, akan melakukan lobi-lobi dalam pertemuan-pertemuan rahasia; kalau perlu saya akan merekayasa supaya semua urusan lancar.“ Malaikat menjawab, “Yesus adalah Raja Keadilan dan Kebenaran. Rekayasa dan sikap licik hanya akan menyakitkan hati-Nya.“

Berikutnya majulah seekor burung merak dengan menunjukkan segala keindahan bulu-bulunya. Ia berujar, “Sayalah yang paling tepat ada di dekat Yesus. Saya akan menyiapkan penyambutan yang mewah meriah.“ Malaikat menjawab, “Yesus adalah Raja yang sederhana dan rendah hati. Kemewahan dan gebyar-gebyar yang berlebihan jauh dari semangat hidup-Nya yang selalu dekat dengan orang kecil, lemah, miskin dan tersingkir.“
Demikianlah berbagai binatang mengajukan diri. Semuanya tidak lolos seleksi. Sementara itu, malaikat melihat seekor keledai dan lembu yang diam tak menawarkan diri. Malaikat bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian tidak angkat bicara dan mengajukan diri menjadi pendamping Yesus?“ Keledai berkata: “Siapakah saya ini ini? Paling-paling saya hanya dapat membantu membawa beban.“ Lembu menyahut, “Apalagi saya, paling-paling saya hanya dapat mengusir lalat dengan ekor saya.“ Kedua binatang itu lolos seleksi.

Kisah ini menuturkan bahwa orang kecil, wong cilik, miskin, kaum pinggiran adalah orang-orang yang sadar akan statusnya. Status yang sedemikian membuat kita dapat memahami mengapa gembala-gembala sangat ketakutan ketika dijumpai oleh malaikat Tuhan yang kudus (Luk. 2:9). Mungkinkah Yang Kudus berjumpa dengan manusia yang berdosa? Jawabnya mungkin. Lebih tepatnya, Allah yang berinisiatif hingga memungkinkan perjumpaan itu terjadi. Itulah inti kisah Allah. Allah berbelarasa pada manusia yang terabaikan.
Berita malaikat disambut para gembala, “Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu” (Luk. 2:16). Para gembala tidak pasif. Dengan aktif mereka bergerak mencari tanda yang menunjukkan kehadiran Allah. Secara imajinatif kita bisa saja membayangkan mereka meninggalkan domba-domba, sumber ekonomi mereka. Mereka keluar dari sumber hidup dan menjadi Sumber Hidup Sejati. Upaya aktif meninggalkan kelekatan diri ini menuntun mereka menemukan pengharapan baru, pada Sang Bayi Natal yang terlahir. Lukas mencatat dengan, “Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka” (Luk. 2:20). Mereka kini memiliki cara pandang baru, pengharapan baru, sehingga mampu mengalahkan ketakutan dan hidup dalam kegembiraan.

Respon itulah yang diperlukan saat ini. Rasa syukur karena Juruselamat telah lahir, diharapkan membawa perubahan yang tak hanya tampak pada permukaan, tetapi masuk ke kedalaman. Hal itulah juga yang digemakan oleh nabi Yesaya. Nabi Yesaya berkarya saat umat berada dalam pengharapan yang terasa amat kuat. Penderitaan atas pembuangan membuat umat tak berhenti berteriak memohon pertolongan Tuhan. Namun, ketika menantikan pertolongan umat diminta tidak boleh pasif, umat harus bergerak. Nabi berseru: “Berjalanlah, berjalanlah melalui pintu-pintu gerbang, persiapkanlah jalan bagi umat, bukalah, bukalah jalan raya, singkirkanlah batu-batu, tegakkanlah panji-panji untuk bangsa-bangsa!” (Yes.62:10). Seruan ini menegaskan, bahwa umat tidak boleh hanya menuntut Tuhan melaksanakan janji-Nya, tetapi agar umat berbenah diri menyambut kehadiran-Nya yang menyelamatkan.
Tindakan umat yang mengimani keselamatan sudah datang (Yes. 62:11) adalah dengan menunjukkan lewat gaya hidup yang membebaskan. Bukan kegembiraan ala minuman bersoda, yang hanya sesaat sifatnya. Kegembiraan Natal bukanlah untuk menunjukkan kehebatan kita. Memperlihatkan superioritas agama karena keselamatan telah dihadirkan melalui kelahiran Yesus. Titus mengingatkan, itu semua adalah anugerah, karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaruan yang dikerjakan oleh Roh Kudus (Titus 3:5) Pemberian cuma-cuma; dan bukan karena hebatnya manusia! Justru karena itu, rasa syukur karena keselamatan yang dikerjakan Yesus pada kita membuat kita hidup dalam kegembiraan dalam sukacita.
Kegembiraan dan sukacita itu bukan hanya ditujukan buat kita, tetapi juga buat dunia ini; buat mereka yang terbuang. Banyak orang membutuhkan kekuatan dan pengharapan. Sudahkah Natal kita dengan sadar menyapa mereka?
Leave a reply