“Dalam penantian yang diisi dengan pengharapan Eskatologis, apakah manusia sudah menyadari bahwa keselamatan bukan milik mereka semata?”
Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah. (Roma 8:19-21)
Kitab Roma memiliki konteks adanya kerusakan hubungan antara Allah dan manusia. Namun, terungkap juga kemungkinan perdamaian yang diberikan oleh kitab Roma, khususnya pada pasal 8. Pendamaian tersebut sangat dimungkinkan untuk mereka yang percaya kepada Yesus serta dianggap benar di mata Allah. Mereka yang dibenarkan tadi mendapatkan Roh Kudus, juga diangkat menjadi anak-anak Allah.
Pengangkatan menjadi anak Allah menggambarkan kedatangan Kerajaan Allah. Namun sayangnya, terkesan bahwa Kerajaan Allah belum datang pada saat itu, apalagi pada konteks kitab Roma 8. Secara teologis, ada yang disebut pengharapan eskatologis. Ini mengarah pada pengharapan yang dinyatakan pada saat ini, namun belum terjadi secara nyata. Dalam Roma 8, khususnya pada ayat 19-21, dituliskan bahwa pengharapan yang ada datang kepada seluruh ciptaan (makhluk). Allah menyelamatkan semua makhluk, tidak hanya menyebutkan bahwa manusia saja yang diselamatkan. Dapat terlihat adanya keadilan dari Allah yang tidak hanya memusatkan ciptaan kepada manusia saja.
Namun apa yang terjadi? Manusia pada umumnya menganut pandangan antroposentris. Antropos memiliki arti manusia (kata benda Yunani). Jadi, antroposentris dapat diartikan sebagai penekanan bahwa manusia adalah pusat dari segala sesuatu. Dalam hal ini, terkait keselamatan, ya hanya manusia saja yang selamat dalam pandangan antroposentris. Makhluk lain yang ada di sekitar manusia hanya dijadikan sebagai objek manusia untuk mendapatkan keuntungan, dan bahkan sebagai objek untuk menggapai apa yang disebut keselamatan tadi.
Dengan berpusat semata pada pandangan antroposentris tadi, manusia hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan mengabaikan kepentingan makhluk lainnya. Tidak banyak manusia yang bisa menerima kenyataan bahwa sebenarnya yang akan diselamatkan oleh Allah di dalam Kristus bukan hanya manusia saja, namun juga bersama-sama dengan ciptaan lainnya. Jika kita mengacu pada tulisan dalam Yohanes 1:3, “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” Terlihat dalam ayat itu bahwa sebenarnya ciptaan Allah adalah seluruh ciptaan, bukan manusia saja. Oleh karena itu yang akan diselamatkan oleh Allah juga bukan hanya manusia saja, melainkan seluruh ciptaan-Nya.
Jika mengacu pada pemahaman ini, maka kejahatan yang terjadi di dunia ini bukan karena dosa manusia seorang, melainkan hasil dari makhluk-makhluk lain yang ada. Dapat dikatakan ada kekuatan spiritual lain yang memberikan penderitaan kepada ciptaan lain (yang tidak berkaitan dengan kegiatan manusia). Namun, krisis ekologis yang terjadi di dunia merupakan implikasi dari kesalahan manusia yang tidak bisa mengatur nafsunya sendiri. Menurut pandangan ini, karya pendamaian Kristus nyata atas segala ciptaan untuk menebus dosa manusia atas manusia, juga terkait dengan dosa manusia atas lingkungan bukan manusia.
Melihat kembali pada Kitab Roma tadi, kita saat ini berada dalam masa penantian. Penantian akan pengharapan yang eskatologis. Apa yang bisa kita lakukan dalam masa penantian ini? Banyak orang, biasanya, memusatkan diri pada Tuhan semata. Memang tidak salah jika manusia memusatkan diri pada Tuhan, lalu mencoba untuk melayani juga secara sepenuh hati hingga sampai kepada titik radikal. Sayangnya, manusia terlalu sering berfokus hanya kepada Tuhan dan perkara surga, kemudian seakan-akan melupakan bahwa mereka hidup bersama dengan manusia lain, juga bersama dengan ciptaan lainnya.
Ketika merenungkan mengapa manusia sering melakukan hal ini, saya pribadi melihat bahwa manusia kurang sadar akan kehadiran makhluk-makhluk lain di sekitarnya. Mengatasnamakan agama, manusia rela menindas manusia lainnya, bahkan sampai membunuh.
Refleksi saya terkait dengan kitab tadi seakan-akan berhenti ketika saya mencari-cari data mengenai alam di Indonesia. Ternyata manusia tidak hanya menindas manusia lainnya. Manusia juga terus menindas alam dengan “sok” menguasainya (mengacu pada pandangan antroposentris, bahwa manusia pusat segala sesuatu dan alam hanyalah objek untuk kepentingan manusia).
Padahal, manusia dan alam adalah setara sebagai ciptaan Tuhan. Tidak ada yang saling menguasai atas satu sama lainnya. Manusia harus berhenti memiliki pandangan bahwa mereka menguasai alam. Para penguasa juga harus berhenti memandang alam sebagai sumber ekonomi yang mumpuni. Karena pada hakikatnya, alam pun juga bisa habis pada masanya nanti.
Tak luput, kita semua justru harus menganggap alam sebagai teman/sahabat dalam menjalankan aktivitas dan melakukan peran yang Tuhan percayakan. Dengan begitu, keselarasan hidup antara alam dan manusia bisa kian diwujudkan sekaligus meminimalkan sisi destruktif.
Jadi, apakah yang selama ini kita lakukan dalam masa penantian ini? Sudahkah kita menyadari bahwa yang terselamatkan bukan hanya manusia saja? Atau masihkah kita hanya berfokus pada “melayani Tuhan”, sampai-sampai lupa untuk melayani manusia serta alam sekitar kita? Lebih baik selama masih menapak satu-satunya bumi yang Tuhan anugerahkan ini, manusia hidup untuk melayani Tuhan dan melayani manusia lain serta alam ini sendiri. Kita perlu membuang jauh-jauh pandangan antroposentris dalam menghidupi sebuah pengharapan eskatologis.
Sudahkah kita memberikan yang terbaik kepada Tuhan dan alam sekitar kita dalam masa penantian ini?
By Jeremy Sitindjak
Comment
Tuhan Yesus memberkati.