Hosea 5 : 15 – 6 : 6 | Mazmur 50 : 7-15 | Roma 4 : 13-25 | Matius 9 : 9-13, 18-2
Ritualitas acap kali menjadi yang utama dalam kehidupan orang beragama bahkan berkembang menjadi identitas kesalehan. Tata cara beribadah, model pakaian dan bentuk-bentuk persembahan menjadi hal-hal penting dan diperhatikan dalam kehidupan beragama. Di sisi lain, hal yang lebih esensial yaitu spiritualitas menjadi kurang diperhatikan. Dalam hal persembahan, umat beragama beranggapan bahwa dengan semakin besar persembahan akan menyukakan hati Allah justru menghendaki manusia memiliki hubungan yang intim dan penyerahan diri yang utuh kepada-Nya.
Hosea 6:6 menyatakan bahwa Allah menyukai kasih setia dan pengenalan akan Dia, lebih dari korban sembelihan dan korban-korban bakaran. Lebih jauh, Mazmur 50:14-15 menyatakan bahwa persembahan syukur sebagai korban kepada Allah dan seruan kepada-Nya pada waktu kesesakan yang dikehendaki-Nya. Dari 2 (dua) bacaan ini jelas tergambarkan bahwa Allah menghendaki kita mempunyai hubungan yang erat dan kebergantungan hidup kepada-Nya. Interaksi dengan Allah tidak dibatasi hanya pada ritual-ritual keagamaan, tetapi interaksi yang kontinyu dengan merasakan kehadiran-Nya dalam kehidupan kita yang seharusnya menjadi dasar hubungan kita dengan Allah.
Roma 4:13-25 mencatat bagaimana Abraham meyakini dan mengimani janji Allah kepadanya bahwa Ia akan menjadi bapa banyak bangsa. Secara rasio dan logika manusia dengan usia yang sudah sangat tua, baik Abraham dan isterinya, sudah tidak memungkinkan untuk memiliki keturunan. Abraham berjalan dengan iman dan bukan dengan rasio/logika di mana dia meyakini bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan-Nya. Di dalam kehidupan modern sekarang ini dengan pengutamaan rasionalitas, sulit untuk dapat meneladani kehidupan iman Abraham. Namun, kehidupan beriman seperti itulah yang Tuhan kehendaki bagi kita semua.
Matius 9:9-13 dan 18-26 menceritakan bagaimana inisiatif Tuhan Yesus untuk menolong orang-orang dalam keberdosaan, kesakitan dan kesesakan. Tuhan Yesus menyapa Matius, dan menunjukkan bahwa Allah datang bukan kepada orang saleh tetapi kepada orang berdosa. Hal ini mematahkan cara berpikir bahwa yang dikehendaki Allah adalah kesalehan sebagaimana pandangan beberapa orang Farisi. Lebih lanjut, Tuhan Yesus menunjukkan belas kasih-Nya kepada orang yang sakit/lemah dan yang meminta pertolongan. Iman/keyakinan kepala rumah ibadat, perempuan sakit pendarahan, orang buta dan bisu telah menyelamatkan mereka. Allah ingin kita hidup seperti tokoh-tokoh yang diceritakan dalam bacaan ini. Keberdosaan tidak menghalangi Allah datang menghampiri kita, oleh karenanya jangan lari, tetapi datang dengan pertobatan sebagai respon dari pengampunan yang diberikan-Nya. Kesesakan sedalam apapun melalui sakit penyakit dapat dilepaskan jika mau datang dan percaya bahwa Dia mampu dan berkuasa atas segala pergumulan hidup kita.
Pengenalan yang benar kepada Allah bahwa Dia berkuasa dan mempunyai otoritas penuh atas kehidupan kita harus menjadi dasar keimanan kita kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita. Sebagai respon terhadap belas kasih Allah, maka kita pun harus menjalani kehidupan bersama dengan tidak melakukan pembedaan satu dengan yang lain, dan hidup saling mengasihi dan saling menolong, sehingga tercipta keselarasan hidup seperti simbol salib di mana relasi vertikal dan horizontal terdapat keseimbangan. Amin. [APN]
Leave a reply