“Tuhan, sekiranya Engkau ada disini, saudaraku pasti tidak mati. Tetapi sekarangpun aku tahu, bahwa Allah akan memberikan kepada-Mu segala sesuatu yang Engkau minta kepada-Nya.”
Ada sebuah quote menarik yang saya baca pada sebuah pembatas buku: : “Harapan adalah kekuatan untuk bergembira di dalam situasi yang kita tahu menyesakkan.” Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), harapan atau asa adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan, akan didapatkan atau suatu kejadian akan berbuah kebaikan di waktu yang akan datang.
Pada minggu pra paska ke lima ini, kita diajak untuk menghayati tentang pengharapan atau harapan yang bersumber dari kasih karunia Allah. Namun, sebelumnya ada yang harus kita jawab sebagai bentuk refleksi kita: bagaimana situasi hidup kita saat ini, apakah kita memiliki optimisme bahwa hari esok akan lebih baik? Karena, hidup yang berpengharapan adalah keyakinan bahwa selalu ada solusi atas berbagai masalah yang kita hadapi.
Mari kita simak bagaimana umat di abad mula-mula menumbuhkan pengharapan di tengah situasi yang tanpa harapan. Dalam Yehezkiel dikisahkan bahwa bangsa Yahudi ada pada situasi tanpa harapan paska pembuangan. Dalam pembuangan — meski masih hidup — mereka hidup dalam keputusasaan, tidak memiliki semangat untuk hidup. Disitulah Kasih setia Allah dinyatakan kepada bangsa ini: mereka dikumpulkan kembali ke tanah mereka. Semangat hidupnya kembali tumbuh.
Dalam Surat Roma 8:6-11, Rasul Paulus menuturkan bahwa orang-orang yang hidup menurut daging akan berpikir kedagingan. Mereka akan berbuat dosa, kejahatan dan menuruti keinginan hawa nafsu dunia. Akibatnya, mereka terseret ke jurang maut dan kebinasaan kekal dengan nyala api yang tidak pernah padam. Sementara itu, orang-orang yang hidup menurut Roh Tuhan, akan berpikir tentang hal-hal yang dari Roh. Mereka takut akan Tuhan, setia beribadah, bersyukur, berdoa, memuji, memuliakan, menyembah dan melayani Tuhan dengan tulus. Mereka meninggalkan perbuatan dosa, kejahatan dan hawa nafsu kedagingan, karena semua itu akan berujung pada maut.
Pada kitab Yohanes 11, dua hal diri Allah yang nampak dalam pribadi Yesus: yang penuh kasih setia dan IA yang berkuasa atas kehidupan. Yesus mendengar kabar bahwa Lazarus, orang yang dikasihinya itu, jatuh sakit. Tapi Yesus memilih untuk tidak bersegera mengunjungi Lazarus. Terkesan tidak peduli? Bisa jadi demikian. Yang lebih “mengecewakan”, Yesus datang di saat Lazarus sudah terkubur empat hari lamanya.
Situasi yang dilematis tentunya. Jika kita menghadapi situasi seperti di atas, apakah kita akan tetap percaya dan menantikan Tuhan? Dalam kondisi terdesak dan memerlukan pertolongan segera, dan Tuhan seolah olah menunda menjawab permohonan kita atau bahkan ketika semuanya sudah terlambat. Akankah kita terus berharap dan percaya kepada-Nya? Atau sebaliknya, kita mulai kecewa kepada-Nya? Belajar dari sini, kita diajak untuk terus mengingat pesan Yesus: “Sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat percaya” (ay 15). Dan “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walapun ia sudah mati” (ay 25).
Kembali pada situasi kita saat ini, mungkin kita sedang dalam pergumulan berat, menghadapi persoalan yang tak berujung, dan sangat berharap pertolongan Tuhan. Sebagai orang percaya, kita diajarkan untuk hidup yang berpengharapan akan kasih dan kuasa Tuhan, terus menjaga optimisme kita. Dengan hidup berpengharapan kita akan mampu menyatakan kasih dan menghadirkan kedamaian di manapun kita berada. Amin. (VE)