Kisah Para Rasul 10:34-43, Mazmur 118:1-2, 14-24, Kolose 3:1-4, Yohanes 20:1-18
Yesaya 25:6-9, Mazmur 114, 2 Korintus 5:6-8, Lukas 24:13-49
Cuplikan ucapan Crusoe dalam novel “Robinson Crusoe” oleh Daniel Defoe, seakan mengingatkan akan kelemahan dan kerapuhan kita. “Segala sesuatu dalam diri saya telah berubah: sekarang saya memahami kesedihan dan kegembiraan dengan cara yang sama sekali berbeda; bukan itu keinginan saya; nafsu telah kehilangan ketajamannya … “Crusoe mulai memahami bahwa setiap kejadian yang biasa sebagai pemeliharaan Tuhan. Dalam keyakinannya, bahwa situasi tragis yang dialaminya bukanlah kombinasi keadaan yang tidak disengaja, tetapi pembelajaran hidup yang mahal dan mengalami penebusan dosa. Itu terjadi karena belas kasih Tuhan.
Sejatinya, manusia mengalami kesengsaraan atas keberdosaan yang terus meraja-lela dalam kehidupannya. Tetapi kesengsaraan hanyalah sementara yang mesti dialami sebagai akibat perbuatan yang tidak benar. Sementara hidup dalam dosa upahnya adalah maut dan tak akan lepas hanya dalam kehidupan sekarang ini tetapi juga selamanya. Penebusan dosa menjadi keniscayaan atas pengharapan umat manusia. Hidup yang diharapkan bukan saja pada dimensi kini dan sekarang ini, tetapi juga pada dimensi yang akan datang. Dan itu hanya bisa dikerjakan oleh yang tak mengenal dosa.
Yesus Kristus adalah penebus dosa yang tidak mengenal dosa. Dialah Sang Penebus sejati. Dia hanya mengenal kehendak Sang Bapa, dan menjalani apa yang menjadi misi Kerajaan Surga, yakni membangun kembali relasi damai sejahtera di tengah kehidupan ciptaan TUHAN. Kesanggupan-Nya dalam mengerjakan misi melalui pengurbanan-Nya menjadi spirit yang kekal bagi setiap umat-Nya. Umat yang sadar akan kelemahan dan kerapuhannya meletakkan dasar pengharapan pada karya kuasa penebusan Tuhan Yesus. Hal ini hanya dapat dijelaskan oleh iman percaya, meski tidak menjadi saksi dari penebusan yang terjadi di masa lalu. Dan justru oleh iman-lah, maka umat harus menjadi saksi dari kebenaran Tuhan Yesus yang bangkit, bukan hanya untuk masa lalu tetapi juga untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Maria Magdalena merupakan saksi pertama yang melihat kubur Tuhan Yesus yang sudah terbuka. Tetapi ia tidak segera percaya akan kebangkitan Tuhan Yesus. Dalam Injil Yohanes 20:2, disebutkan: Ia berlari-lari mendapatkan Simon Petrus dan murid yang lain yang dikasihi Yesus, dan berkata kepada mereka: “Tuhan telah diambil orang dari kuburnya dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan”. Ini adalah respons umum yang dapat diterima secara logika oleh banyak orang, karena mustahil seseorang bangkit dari kematian.
Petrus dan murid yang dikasihi Tuhan Yesus berangkat ke kubur itu dan masuk ke dalamnya. Petrus masuk lebih dahulu dan melihat dalam kubur yang kosong. Ia hanya melihat kain kafan dan kain peluh pembungkus tubuh Tuhan Yesus. Namun, murid yang dikasihi Tuhan Yesus masuk juga ke dalam kubur itu dan menyaksikan semuanya, tetapi ia percaya. Murid itu percaya dengan apa yang dilihatnya, tetapi bagi Maria Magdalena, diperlukan perjumpaan pribadi dengan Tuhan Yesus yang sudah bangkit supaya percaya (Yoh 20:11-18).
Apa yang dialami Maria Magdalena, sang saksi pertama atas kubur kosong, dapat saja terjadi pada diri kita bukan? Kita membutuhkan perjumpaan pribadi dengan Tuhan Yesus supaya kita sungguh percaya kepada-Nya. Lalu bagaimana jika tidak mengalami perjumpaan pribadi, meski dalam pengalaman beriman kita mengalami pemeliharaan Tuhan sepanjang hari, apakah hal itu tetap membuat kita begitu sulit untuk percaya kepada-Nya? Apakah kita memerlukan bukti untuk percaya bahwa Tuhan Yesus sungguh sudah bangkit dari kematian, yakni dengan kedatangan Tuhan dahulu dihadapan kita dan berbicara kepada kita: “Hai anakku, Aku sudah ada di hadapanmu, maukah engkau percaya”?
Apa yang dialami para murid dalam Yohanes 20:1-8, juga dialami oleh para murid yang lain dalam Lukas 24:13-49. Pengalaman tersebut dalam hal percaya akan kebangkitan Tuhan Yesus, baik tidak mengalami perjumpaan khusus dengan-Nya maupun mengalami perjumpaan. Para murid di atas tidak mengalami perjumpaan khusus dengan Yesus, meski di bacaan setelahnya, Maria Magdalena mengalami perjumpaan khusus dengan Tuhan Yesus, dan ia percaya. Itupun melalui proses percakapan. Dan dalam bacaan di Minggu Paska Sore, yakni Lukas 24:13-49, dua murid yang lain (bukan dari kedua belas murid Tuhan Yesus pertama), mengalami perjumpaan khusus dengan Tuhan Yesus, dan mereka tidak segera percaya akan kehadiran-Nya meski dengan percakapan yang panjang (selama mereka melakukan perjalanan). Mereka menjadi percaya setelah makan bersama Tuhan Yesus.
Dalam Injil Lukas 24:30-31, disebutkan: “Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan mereka pun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka.” Mereka baru sadar bahwa itu Tuhan Yesus, yang sejak dalam perjalanan membuat hati mereka berkobar-kobar (ay.32). Hal seperti itupun dialami oleh para murid yang lebih banyak lagi, yakni kala Tuhan Yesus berada di tengah-tengah mereka dan meminta makanan untuk dimakan. Dalam Injil Lukas 24:41-43, disebutkan: “Dan ketika mereka belum percaya karena girangnya dan masih heran, berkatalah Ia kepada mereka: “Adakah padamu makanan di sini?” Lalu mereka memberikan kepada-Nya sepotong ikan goreng. Ia mengambilnya dan memakannya di depan mata mereka”.
Ternyata tidak mudah untuk percaya meski para murid adalah orang-orang beriman, yang percaya kepada Tuhan Yesus. Tetapi untuk percaya pada kebangkitan, itu soal yang lain lagi. Soal kebangkitan adalah soal kehidupan. Dari mati kepada hidup, membutuhkan pengalaman yang lebih dalam lagi. Seperti para murid, kita pun dapat mengalami hal serupa. Pengalaman yang mau mengakui bahwa kita turut dalam kematian Yesus dan mengalami kebangkitan-Nya.
Pengalaman iman seperti itulah yang boleh menyadarkan kita bahwa Tuhan Yesus, Sang Kebangkitan dan Hidup sungguh-sungguh ada dan mengajak kita untuk mengalami kebangkitan dari segala kelemahan. Dan oleh karena itu, Tuhan Yesus membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci (ay.45). Jadi, bila kita di masa kini mau mengalami pengalaman seperti halnya para murid, kita harus membuka hati dan pikiran kita, dan selalu mau membaca Alkitab, di mana segala kesaksian tentang Tuhan Yesus yang bangkit ada di dalamnya. Mengakui bahwa peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus adalah kebenaran sejati, sehingga dalam iman kita mengaku: “Penebusku hidup!”, menjadikan kita sebagai umat yang sungguh sanggup menjalani kehidupan ini dengan benar, adil dan bijaksana. Dan pengalaman seperti itu menjadikan iman yang menggetarkan dan mengobarkan untuk selalu setia dan semangat menjadi saksi-saksi kebenaran ajaran Tuhan Yesus.
Tampaknya tulisan Defoe di atas boleh menginspirasi kita: “Penebusan dari dosa lebih besar daripada penebusan dari kesengsaran.” Bahwa penebusan dosa yang dikerjakan oleh Tuhan Yesus bukan sekedar menunjukkan Dia menang atas maut, tetapi juga menegaskan Dia selalu ada dekat dengan kita melalui pemeliharaan hidup sepanjang hari, sehingga kita tidak perlu sedih atau kuatir dalam segala hal. Di mana pun kita berada dan dalam tragedi kehidupan apapun yang kita alami, Yesus berkuasa atas hidup kita. Baik dalam hidup atau mati kita, Dia tetap Tuhan kita, Sang Penebus jiwa kita. Karena itulah disebut bahwa penebusan dari dosa lebih besar daripada penebusan dari kesengsaraan.
Selamat Paska, selamat merayakan kebangkitan Tuhan. Selamat bangkit bagi kita yang percaya kepada kebangkitan-Nya meski tidak mengalami perjumpaan khusus dengan-Nya, karena sebenarnya Dia selalu ada di mana pun kita berada. Amin!
(Pdt. Rahmat Basukendra)