Manusia sering ingin bebas, tidak bergantung dan bertanggung jawab kepada pihak lain. Bebas berbuat sekehendaknya sendiri. Jika semua orang melakukan hal seperti ini bisa kita bayangkan kekacauan yang akan terjadi. Saat semua orang ingin bebas justru kebebasan tidak bisa dicapai karena semua orang menuntut keinginan dirinya. Maka penting hadirnya sosok yang diberikan kuasa untuk mengatur. Tetapi ketertundukan seseorang pada sosok yang diberikan kuasa tersebut ditentukan oleh pengakuannya pada kuasa yang ada pada orang tersebut. Pengakuan akan kuasa yang ada pada seseorang membawa kita pada sikap tunduk dan taat. Tunduk artinya merendahkan diri, menerima dan menghormati sosok berkuasa. Sedangkan taat artinya melakukan perintah yang dinyatakan oleh sosok yang berkuasa dan selalu memohon petunjuk padanya. Ketertundukan dan ketaatan pada sosok berkuasa adalah bagian tanggungjawab kita pada pribadi tersebut.
Para pemuka agama Yahudi tidak percaya pada kuasa yang dimiliki oleh Tuhan Yesus. Walaupun karya Tuhan Yesus dalam mengajar dan mujizat yang dilakukan-Nya menunjukkan bukti yang otentik atas kuasa Ilahi yang ada pada-Nya, para pemuka agama mengeraskan hati untuk mempercayainya. Para pemuka agama tidak mampu dan mau merendahkan diri dan mengakui kesalahan mereka karena mereka tidak mau mempercayai kuasa yang ada pada diri Tuhan Yesus.
Pada minggu pertama bulan keluarga ini kita diajak untuk merenungkan kuasa Allah dalam kehidupan keluarga. Dengan mengakui kuasa Allah dalam kehidupan keluarga maka setiap anggota keluarga akan merendahkan diri untuk dituntun oleh petunjuk Tuhan sebagai tanda kita bertanggungjawab pada Tuhan yang berkuasa dalam hidup keluarga.
Pada bacaan minggu ini tanya jawab antara Tuhan Yesus dengan para pemuka agama Yahudi dalam Matius 21:23-32 terjadi setelah peristiwa masuknya Tuhan Yesus ke Yerusalem dengan dielu-elukan (Mat 21:1-11), dan peristiwa Tuhan Yesus menyucikan Bait Allah (Mat. 21:12-17). Dua peristiwa tersebut memunculkan pertanyaan para pemuka agama Yahudi dengan bertanya: “Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal ini? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepadaMu?” (Mat. 21:23).
Kata “kuasa” (exousia) merujuk pada hak atau otoritas melakukan sesuatu. Pertanyaan ini menandakan para pemuka agama Yahudi merasa bahwa Tuhan Yesus tidak berhak melakukan semua hal yang saat itu Ia lakukan. Apa yang Tuhan Yesus lakukan bagi pemahaman orang Yahudi memang memerlukan otoritas khusus. Mereka mempertanyakan mengenai asal-usul kuasa yang dimiliki ‘Tuhan Yesus dan siapa yang memberikan kuasa itu kepada-Nya.
Keengganan mengakui otoritas Allah mengakibatkan sulitnya terjadi perubahan sikap, bahkan cenderung menyalahkan pihak lain termasuk Allah sendiri. Umat Israel pernah berada dalam pola pikir bahwa situasi kesengsaraan yang dialami umat adalah akibat dari kesalahan generasi sebelumnya (Yeh. 18:2). Umat merasa tidak bersalah. Sebaliknya, saat seseorang mengakui otoritas Allah maka ia akan meren dahkan diri dan memohon kepada Tuhan untuk ditunjukkan dan dibawa pada jalan-jalan kebenaran (Mzm. 25: 4-5). Sangat mungkin para pemuka agama ini sangat akrab dengan mazmur ini. Para pemuka agama mengenal hukum Tuhan, tetapi tidak menjalankannya. Ini seperti anak sulung yang mengatakan, “Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi” (Mat. 21:29).
Pengakuan akan otoritas Allah akan membawa kita mau merendahkan diri dan tidak memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga (Flp. 2:4). Anak kedua dalam perumpamaan Tuhan Yesus, menunjukkan kemampuan melihat kepentingan orang lain dan membuat dirinya “menyesal” dan mau menuruti perintah bapanya (Mat. 21:30). Kemampuan ini tidak dimiliki oleh pemuka agama Yahudi.
Keluarga yang mengakui kuasa Allah akan hidup dalam sikap saling merendahkan diri dan menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri (Flp. 2:1-4). Setiap pribadi akan menghidupi kemampuan untuk mengakui kesalahan dan membuka diri memohon pada tuntunan Tuhan (Mzm. 25:1-9). Dan siap untuk bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan lalu bertobat dari perbuatannya, dan terus berupaya tidak menjadi batu sandungan (Yeh. 18: 30).
Sebagai pengikut Kristus, kita seringkali lupa bahkan tidak mengakui otoritas Tuhan, kita merasa mampu dengan diri sendiri meskipun akhirnya keraguan dan kebimbangan seringkali muncul dalam kehidupan kita. Keraguan mengenai masa depan, keraguan kepada seseorang, keraguan terhadap apa yang sedang dijalani sekarang, dan masih banyak lagi. Ketika mengalami masalah yang pelik banyak orang Kristen mulai ragu akan kuasa Tuhan dan mulai mengukur dan mereka-reka dengan pikiran dan logika. Lalu kita berkata, “Sanggupkah Tuhan menolongku? Apa Tuhan sanggup memulihkan dan memberkati usahaku? Mampukah Dia menyembuhkan sakitku? Mampukah Tuhan menyesaikan perkaraku dan pergumulanku?” Namun ingat, Kuasa Tuhan yang dinyatakan kepada kita tergantung dari iman percaya kita kepada-Nya, “Maukah kita mengakui Kuasa Tuhan dan otoritas-Nya di dalam hidup kita dan keluarga kita?”
Pilihan ada pada kita, “Apakah memilih seperti orang Yahudi yang tidak mau tunduk pada otoritas Sorgawi bahkan enggan untuk percaya?” Atau, kita memilih seperti anak kedua yang mampu melihat kepentingan orang lain dan membuat dirinya “menyesal”, dan mau menuruti perintah bapanya. (P)